TUGAS
FARMAKOLOGI
ETER
ANASTETIK
Disusun
Oleh :
TEGAR
REZI APRIAN
Tingkat
1C
KEMENTRIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES
KEMENKES BENGKULU
PRODI
KEPERAWATAN CURUP
TA.2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Istilah anestetik dikemukakan
pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinyatidak ada rasa sakit. Anestetik
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestetik lokal yang merupakan
penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, dan anestetik umum
sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum
menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat
dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat
vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920)membagi anestesi umum
dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia,satdium delirium,
stadium pembedahan, dan stadium paralisis medulla.
1. obat anestasi umum.
Usaha menekan rasa nyeri pada
tindakan operasi dengan menggunakan obat Telah dilakukan sejak zaman dahulu
termasuk pemberian alcohol dan opodium secara oral. Tahun 1846, wiiliam morton,
di bostom, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk
menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, james simpsom, diskotlandia,
menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen
oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790 an. Anestetik modern
mulai dikenal pada era tahun 1930 an. Dengan pemberian barbiturate thiopental
secara intra vena. Beberapa puluh tahun yang lalu, kurare pun pernah
diperkenalkan sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama
operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama
halotan mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan menjadikannya
sebagai standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang berkembang
sesudah itu.
Stadium anestesi umum meliputi
“analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya sensorik dan reflex
otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat
anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang
diberikan, dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara
tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu, batas keamanan pemakaian harus cukup lebar
dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satu pun obat anestetik dapat
memberikan efek yang diinginkan tampa disertai efek samping, bila diberikan
secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestetik modern selalu digunakan
anestetik dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak
diharapkan.
2. Anestesi lokal
Anestesi lokal menghambat impuls
konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan membran eksitabel lainnya
yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama pembangkit potensi aksi.
Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari-atau
impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat
anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
Kokain dikenal dana pengunaan klinik oleh koller, pada tahun 1884, sebagai suatu anestesi oftalmik. Obat ini kemudian segera diketahui mempunyai kerja adiksi SSP yang kuat, tetapi seblumnya hanya digunakan sebagai anestesi lokal secara luas selama 30 tahun. Dalam usaha memperbaiki sifat kokain, pada tahun 1905 einorn telah mensintesis prokain, yang kemudian menjadi anestesi lokal dominan selama 50 tahun kemudian.
Sejak 1905, sudah banyak bat anestesi lokal disentesis. Tujuan usaha ini adalah untuk mengurangi iritasi lokal dan kerusakan jaringan, mempekecil tosisitas sistemik, mula kerja yang cepat, dan kerja yang lama.
Kokain dikenal dana pengunaan klinik oleh koller, pada tahun 1884, sebagai suatu anestesi oftalmik. Obat ini kemudian segera diketahui mempunyai kerja adiksi SSP yang kuat, tetapi seblumnya hanya digunakan sebagai anestesi lokal secara luas selama 30 tahun. Dalam usaha memperbaiki sifat kokain, pada tahun 1905 einorn telah mensintesis prokain, yang kemudian menjadi anestesi lokal dominan selama 50 tahun kemudian.
Sejak 1905, sudah banyak bat anestesi lokal disentesis. Tujuan usaha ini adalah untuk mengurangi iritasi lokal dan kerusakan jaringan, mempekecil tosisitas sistemik, mula kerja yang cepat, dan kerja yang lama.
Likokain akhirnya merupakan obat yang paling
populer, disentesis pada tahun 1943 oleh lofgren dan dinyatakan sebagai
prototipe obat anestesi lokal.
Belum
tersedia saat ini obat anestesi lokal yang ideal, dan pengembangan obat baru
masih terus diteliti. Namun, walaupun relatif mudah untuk mensintesis suatu zat
kimia yang mempunyai efek anestesi lokal, tetapi sangat sulit meguragi efek
toksik yang lebih kecil dari obat yang ada saat ini. Alasan utama kesulitan
tersebut adalah kenyataan bahwa toksisitas yang sangat serius dari obat
anestesi lokal merupakan perluasan efek terapinya pada otak dan sistem
sirkulasi.
B.Tujuan
Supaya mahasiswa memahami tentang anestesi umum dan anestesi local
Supaya mahasiswa dapat membedakan penggunaan anestesi umum dan anestesi lokal
Agar kita semua memahami perbedaan anestesi umum dan anestesi local
Agar semua mahasiswa dapat mengetahui jenis obat-obat anestesi umum dan lokal
BAB
II
ANESTESI UMUM
ANESTESI UMUM
A. Jenis obat anestesi umum
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen
aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik
gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan
anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran
merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi
terbaru tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional
seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena
eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk : Barbiturat (tiopental, metoheksital), Benzodiazepine (midazolam, diazepam), Opioid analgesik dan neuroleptik, Obat-obat lain (profopol, etomidat), Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
B. Tanda dan stadium anestesi
Sejak obat anestesi
umum di perkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek dan tandanya untuk
mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi
(tanda guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang
mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi
didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada
pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.
Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi antara
anestetik inhalasi dengan anestetik intravena. Namun tanda-tanda anesthesia
dietil eter masih memberikan dasar untuk menilai efek anestetik untuk semua
anestetik umum. Banyak tanda-tanda anestetik ini menunjukkan pada efek obat
anestetik pernafasan, aktivitas refleks, dan tonus otot.
Secara tradisional, efek anestetik dapat
dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :
I. Stadium analgesi
Pada
stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tampa disertai kehilangan
kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini,
penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan kesadaran. Volume dan
kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual. Inkontinensia urin dan
defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk membatasi lama dan
berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium
ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai berhentinya
pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan dengan
perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat
merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medula
oblongata
Bila pernafasan
spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada stadium ini akan
terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat vasomotor.
Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.
Pada
praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering
tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih
cepat dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat
mengontrol ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya
obat yang diberikan sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada
tanda-tanda anestesi. Atropin, digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus
mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti tubokurarin suksinilkolin yang dapat
mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik narkotik yang dapat menyebabkan
efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat diandalkan untuk mencapai
stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan adanya pernapasan
yang dalam dan teratur.
C. Anastetik inhalasi
1. Farmakokinetik
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi) bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan penyebaran anestetik. Factor tersebut menentukan perbedaan kecepatan transfer anestetik inhalasi dari paru kedalam darah serta dari darah ke otak dan jaringan lainnya. Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi masa pemulihan anestesi setelah anestetik dihentikan.
Ambilan
& distribusi Konsentrasi
masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding dengan tekanan atau
tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian
dalam membicarakan berbnagai proses transfer anestetik gas dalam tubuh.
Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak untuk
menimbulkan anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari udara alveolar
kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian konsentrasi ini bergantung pada
sifat kelarutan anestetik, konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju
ventilasi paru, aliran darah paru, dan perbedaan gradian konsentrasi (tekanan
parsial) obat anestesi antara darah arteri dan campuran darah vena.
a) Kelarutannya
Salah
satu penting factor penting yang mempengaruhi transfer anestetik dari paru
kedarah arteri adalah kelarytannya. Koefisien pembagian darah; gas merupakan
indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas relative
suatu obat anestetik terhadap darah dibandingkan dengan udara.
b) Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasi
Konsentrasi
anestetik inhalasi didalam campuran gas inspirasi mempunyai efek langsung
terhadap tegangan maksimun yang dapat tercapai didalam alveolus maupun
kecepatan peningkatan tegangan ini didalam darah arterinya.
c) Ventilasi
paru
Kecepatan
peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri bergantung pada
kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya efek ini bervariasi sesuai
dengan pembagian koefisien darah; gas.
d) Aliran darah
paru
Perubahan
kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan mempengaruhi transfer obat
anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan memperlambat kecepatan
peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh obat anestetik dengan kelarutan
drah yang sedang sampai tinggi.
e) Gradient
konsentrasi arteri-vena
Gradien
konsentrasi obat anestetik antara darah arteri dan vena campuran terutama
bergantung pada kecepatan dan luas ambilan obat anestesi pada jaringan itu, yang
bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan.
Pembuangan
Waktu pemulihan anestesi inhalasi bergantung pada kecepatan pembuangan obat anestetik dari otak setelah konsentrasi obat anestesi yang diisap menurun. Banyaknya proses transfer obat anestetik selama waktu pemulihan sama dengan yang terjadi selama induksi. Factor-factor yang mengontrol kecepatan pemulihan anestesi meliputi; aliran darah paru, besarnya ventilasi, serta kelarutan obat anestesi dalam jaringan dan darah serta dalamnya fase gas didalam paru.
Waktu pemulihan anestesi inhalasi bergantung pada kecepatan pembuangan obat anestetik dari otak setelah konsentrasi obat anestesi yang diisap menurun. Banyaknya proses transfer obat anestetik selama waktu pemulihan sama dengan yang terjadi selama induksi. Factor-factor yang mengontrol kecepatan pemulihan anestesi meliputi; aliran darah paru, besarnya ventilasi, serta kelarutan obat anestesi dalam jaringan dan darah serta dalamnya fase gas didalam paru.
2. Farmakodinamik
Mekanisme kerjav
Kerja
neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan meningkatkan
ambang rangsang sel, Aloia, 1991. Dengan meningkatnya ambang rangsang, akan
terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga
intravena barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga
akson dan transmisisinaptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan pada
transmisi aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive
dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah
bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi
saraf dengan aktivitas aliran K+, sehingga terjadi penurunan aksi potensial
awal, yaitu peningkatan ambang rangsang. Penilitian elektrofisiologi sel dengan
menggunakan analisa patch clamp, menunjukkan bahwa pemakaian isofluran
menurunkan aktivitas reseptor nikotinik untuk mengaktifkan saluran kation yang
semuanya ini dapat menurunkan kerja transmisi sinaptik pada sinaps, kolinergik.
Efek benzodiazepine dan barbiturate terhadap saluran klorida yang diperantai
reseptor GABAA akan menyebabkan pembukaan dan menyebabkan hiperpolarasi,
tehadap penurunan sensitivitas. Kerja yang serupa untuk memudahkan efek
penghambatan GABA juga telah dilaporkan pemakaian propofol dan anestetik
inhalasi lain.
Mekanisme
molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran neuronal
belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara
molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membrane protein yang
spesifik. Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penilitian interaksi gas
dengan saluran kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk
menstabilkan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang
dicoba untuk diambil dalam catatan perbedaan struktur yang nyata diantara
anestetik, memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat ini dengan
dengan membran matriks lipid, dengan prubahan sekunder pada fungsi saluran.
Karakteristik dosis-Respons:v
Karakteristik dosis-Respons:v
Konsentrasi
alveolar minuman obat anestesi (KAM)
Obat
anestetik inhalasi masuk ke dalam paru dalam bentuk campuran gas dengan
konsentrasi dan kecepatan pengaliran yang mudah diukur dan dikontrol. Akan
tetapi, pencapaian keadaan anestesi secara klinik sukar diukur. Pertama: hasil
stadium anestesi bergantung pada konsentrasi obat anestetik didalam otak dimana
konsentrasi ini sukar diukur pada kondisi klinik penderita. Kedua: tidak semua
kurva dosis respons minimal dan maksimal menentukan, walaupun pada dosis yang
sangat rendah rasa nyeri masih terasa. Pemberian dosis tinggi mempunyai resiko
yang besar karna adanya depresi pernafasan dan kardiovaskular. Akhirnya,
penggunaan optimal dosis anestetik dapat tercapai dengan menggunakan prinsip
respons dosis quantal.
Selama anestesi
umum, tekanan parsial aanestetik inhalasi pada otak sama dengan tekanan didalam
paru saat dosis anestetik telah tercapai. Pada pemberian kadar anestesi,
pengukuran konsentrasi alveolar keadaan tetap anestesi yang berbeda memberikan
perbandingan potensi relatifnya.
Dosis gas anestetik yang diberikan dapat dinyatakan dalam perkalian KAM. Sementara dosis 1 KAM suatu anestetik mencegah gerakan sebagai respons terhadap in sisi bedah pada 50% penderita. Masing-masing penderita mungkin memerlukan antara 0,5-1,5 KAM. (KAM tidak memberikan informasi mengenai kemiringan kurva dosis respons). Pada umumnya, kurva hubungan dosis respons untuk anestetik inhalasi curam, jadi lebih dari 95% penderita mungkin gagal berespons terhadap rangsangan yang merugikan pada 1,1 KAM. Pengukuran nilai KAM pada kondisi terkontrol memungkinkan efek kuantitatif berbagai variable yang diperlukan dalam anestesi. Sebagai contoh, nilai KAM akan menurun pada penderita labsia tetapih tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Yang sangat penting adalah adanya obat tambahan, yang dapat mengubah banyaknya kebutuhan obat anestetik. Sebagai contohnya, adanya obat analgesic narkotik atau sedative hipnotik maka KAM-nya akan menurun yang berarti konsentrasi obat anestetik yang diisap juga harus diturunkan dalam jumlah yang sebanding.
Dosis gas anestetik yang diberikan dapat dinyatakan dalam perkalian KAM. Sementara dosis 1 KAM suatu anestetik mencegah gerakan sebagai respons terhadap in sisi bedah pada 50% penderita. Masing-masing penderita mungkin memerlukan antara 0,5-1,5 KAM. (KAM tidak memberikan informasi mengenai kemiringan kurva dosis respons). Pada umumnya, kurva hubungan dosis respons untuk anestetik inhalasi curam, jadi lebih dari 95% penderita mungkin gagal berespons terhadap rangsangan yang merugikan pada 1,1 KAM. Pengukuran nilai KAM pada kondisi terkontrol memungkinkan efek kuantitatif berbagai variable yang diperlukan dalam anestesi. Sebagai contoh, nilai KAM akan menurun pada penderita labsia tetapih tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Yang sangat penting adalah adanya obat tambahan, yang dapat mengubah banyaknya kebutuhan obat anestetik. Sebagai contohnya, adanya obat analgesic narkotik atau sedative hipnotik maka KAM-nya akan menurun yang berarti konsentrasi obat anestetik yang diisap juga harus diturunkan dalam jumlah yang sebanding.
Efek anestetik inhalasi terhadap system organv
a) Efek terhadap
kardiovaskuler
Halotan,
desfluran, enfluran dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata yang
berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan
enfluran, penurunan tekanan arteri nampaknya disebabkan karena penurunan curah
jantung, karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya,
peningkatan aliran darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran
mempunyai efek depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan
vascular sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.
b)
Efek terhadap system pernafasan
Dengan
pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan menurunkan
volume tidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, peningkatan
frekuensi pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan volume, yang
menghasilkan penurunan pernafasan per menit. Semua obat anestesi inhalasi akan
menekan pernafasan, seperti yang dapat diukur dengan berbagai variasi kadar
CO2.
c)
Efek terhadap obat
Obat
anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otak. Namun, kebanyakan
meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vascular serebri.
Peningkatan aliran darah serebrum sering tidak diharapkan dalam klinik. Sebagai
contoh, pada penderita dengan tekanan intracranial yang meninggi karena tumor
otak atau trauma kapitis, pemberian obat anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran
darah ke otak, yang kemudian akan meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh
akan menambah tekanan intracranial. Halotan,enfluran, dan isofluran mempunyai
efek yang sama pada pemeriksaan EEG. Sampai dosis 1-15 MAC.
d)
Efek terhadap ginjal
Dalam
berbagai derajat, semua obat anestesi inhalasi akan menurunkan filtrasi
glomerulus dan aliran plasma ginjal serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua
obat anestetik cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran
darah ginjal selama anestesi umum akan mengganggu autoregulasi aliran darah
ginjal.
e)
Efek terhadap hati
Semua
obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan umumnya
berkisar antara 15 sampai 45% dari aliran darah sebelum anestesi dilakukan.
f)
Efek terhadap otot polos uterus
Nitrogen
oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan tetapi,
isofluran, halotan dan enfluran merupakan relaksan otot uterus yang kuat. Efek
farmakologi ini akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang
kuat untuk memanipulasi janin intrauterine selama masa persalinan. sebaliknya,
selama dilatasi dan kuretase pada obortus terapeutik, obat anestetik tersebut
mungkin dapat meningkatkan perdarahan.
Toksisitasv
a) Hepatotoksisitas (halotan)
a) Hepatotoksisitas (halotan)
Biasanya
hepatitis pascabedah selalu dikaitkan dengan factor lain seperti transfuse
darah, syok hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan dengan
toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat halocarbon dapat menyebabkan
kerusakan hati sedangkan kloroform telah dikenal sebagai anestetik hepatotoksik
pada dasawarsa abad ini. Halotan telah diperkenalkan mulai tahun 1956 dan
sampai tahun 1963 telah banyak dilaporkan berbagai kasus ikterus pascabedah dan
nekrosis hati yang berhubungan dengan pemakaian halotan. Walaupun begitu,
berbagai penilitian retrospektif mengenai halotan yang dibandingkan dengan
anestetik lainnya tidak menunjukkan peningkatan insidens kerusakan hati
pascabedah dengan halotan.
b) Netrotoksisitas
Tahun
1966, pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuri inufisiensi ginjal yang
resisten terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat anestetik
metoksifluran untuk operasi abdomen. Akhirnya, diketahui penyebabnya adalah
fluoride inorganic yang merupakan produk akhir biotranspormasi metoksifluran.
c) Hipertermia
berat
Walaupun
jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan secara genetic yang
terpapar anestetik inhalasi yang dapat terjadi sindrom yang bersifat letal
secara potensial, yang meliputi takikardia dan hipertensi dengan asidosis yang
progresif, hiperkalemia, kejang otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat
jika subsinilkolin dipakai untuk merelaksasi otot. Pengobat dengan dentrolen
intra vena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu tubuh serta
mengembalikan keseimbangan elektrolit dan asam basa.
d) Toksisitas kronik
Mutagenisitas, Kasinogenitas, Efek pada reproduksi, Hematotoksisitas
Penggunaan klinik inhalasiv
Dari
semua obat anestetik inhalasi yang tersedia hitororegen oksida, desfluran, dan
isofluran paling banyak dipergunakan di AS. Walaupun jarang digunakan pada
orang dewasa. Halotan banyak digunakan pada anestesi anak. Nitrogen oksida
tidak mempunyai kekuatan cukup untuk menimbulkan efek anestesi bila diberikan
tersendiri. Umumnya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi
yang lainnya, atau kombinasi dengan anestetik intra vena untuk menimbulkan
anestesi local.
D. Obat anestesi intravena
1. Barbitura
kerja ultra singkat
Walaupun
terdapat beberapa babiturat dengan masa kerja ultra singkat, tiopenta merupakan
obat terlazim yang digunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan
dalam bentuk kombinasi anestetik inhalasi lainnya. Setelah pemberian secara
intra vena, tiopenta akan melewati sawa darah otak secara tepat dan, jika
diberikan pada dosis yang mencukupi, akan menyebabkan akan mengakibatkan
hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek sama akan terlihat pada pemberian
barbiturate dengan masa kerja ultra singkat lainnya seperti diamilan dan
metoheksitan
2.
Benzodiazepine
Anngota
tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti diazepam, lorazepam, dan
midazolam, yang dipergunakan pada prosedur anestesi. (dasar-dasar farmakologi
benzodiazepin) diazepam dan lorazepan tidak larut dalam air dan penggunaan
intravenanya memerlukan vehikulum yang tidak encer, sehingga pemberian
intravena dapat menyebabkan iritasi luka. Formulasi mudah larut dalam air dan
kurang iritasi tetapih mudah larut dalam lemak pada pH fisiologis serta mudah melewati
sawa darah otak.
3. Anestesi analgesic opioid
Dosis
besar analgesic opioid telah digunakan untuk anestetik umum, terutana pada
penderita operasi jantung atau operasi besar lainnya ketika sirkulasi dalam
keadaan minimal. Pemberian morfin, secara intravena dengan dosis 1 sampai 3 per
kg digunakan dalam keadaan sirkulasi yang berat.
4.
Propofol
Merupakan
salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat menghasilkan
anestesi kecepatan yang sama denga npemberian barbiturate secara inutravena,
dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
5. Etomidat
Etomidat
merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk induksi anestesi dan
teknik anestesi secara seimbang yang tidak boleh diberikan untuk jangka lama.
Kelebihan utama dari anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular dan repilasi
yang minimal.
6. Ketamin
6. Ketamin
Ketamin
menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan kataton, amenesia, dan
analgesia. Mekannisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek membrane
eksitator neurotrasmiter asam glutamate pada subtype reseptor NMDA.
Macam Obat Anestesi Inhalasi
1. Dinitrogen oksida
(N2O/gas gelak). N2O merupakan gas
yang tidak berwarna, berbau manis, tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat
dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda
lime absorber (pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2
yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan 50%: 50%. Dosis untuk mendapatkan efek
analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan
pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada
pasien pneumotoraks, pneumomediastinum, obstruksi,
emboli udara, dan timpanoplasti.
2. Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak
iritatif, mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda
lime, dan mudah diuraikan cahaya. Halotan merupakan obat anestetik dengan
kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali kloroform. Keuntungan penggunaan halotan
adalah induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan napas, bronkodilatasi,
pemulihan cepat, proteksi terhadap syok, jarang menyebabkan mual/muntah, tidak mudah terbakar dan meledak.
Kerugiannya adalah sangat poten, relatif mudah terjadi overdosis, analgesi dan
relaksasi yang kurang, harus dikombinasi dengan obat analgetik dan relaksan,
harga mahal, menimbulkan hipotensi, aritmia, meningkatkan tekanan intrakranial,
menggigil pascaanestesi, dan hepatotoksik. Overdosis relatif mudah terjadi
dengan gejala gagal napas dan sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian. Dosis
induksi 2-4% dan pemeliharaan 0,5-2%.
3. Etil klorida
Etil klorida merupakan cairan tidak berwarna, sangat mudah
menguap, dan mudah terbakar. Anestesi dengan etil klorida cepat terjadi namun
cepat hilang. Induksi dapat dicapai dalam 0,5-2 menit dengan waktu pemulihan
2-3 menit sesudah pemberian anestesi dihentikan. Etil klorida sudah tidak
dianjurkan lagi untuk digunakan sebagai anestesi umum, namun hanya untuk induksi
dengan memberikan 20-30 tetes pada masker selama 30 detik. Pada sistem tetes
terbuka (open drop), etil klorida disemprotkan ke sungkup dengan
volume 3-20 ml yang menghasilkan uap _+ 3,5-5% sehingga pasien tidak sadar dan
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan obat lain seperti eter. Etil klorida
juga digunakan sebagai anestetik lokal dengan cara menyemprotkannya pada kulit
sampai beku.
4. Eter (dietil eter)
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau
khas mengiritasi saluran napas, mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda
lime absorber, dan dapat terurai oleh udara serta cahaya. Eter merupakan
obat anestetik yang ,aagat kuat sehingga pasien dapat memasuki setiap tingkat
anestesi. Eter dapat digunakan dengan berbagai metoda anestesi. Pada penggunaan
secara open drop uap eter akan turun ke bawah karena 6-10 kali lebih
berat dari udara. Penggunaan secara semi closed methode datam kombinasi
dengan oksigen dan N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan
kauterisasi. Keuntungan penggunaan eter adalah murah dan mudah didapat, tidak
perlu digunakan bersama dengan obat-obat lain karena telah memenuhi trias
anestesi, cukup aman dengan batas keamanan yang lebar, dan alat yang digunakan
cukup sederhana. Kerugiannya adalah mudah meledak/terbakar, bau tidak enak,
mengiritasi jalan napas, menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah, menyebabkan
mual dan muntah, serta dapat menyebabkan
hiperglikemia. Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan
kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anestesi dan teknik yang digunakan. Dosis
induksi 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau campuran oksigen dan N2O.
Dosis pemeliharaan stadium III 5-15% volume uap eter.
5. Enfluran (ethran)
Enfluran merupakan obat anestetik eter berhalogen berbentuk
cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan soda
lime. Induksi dengan enfluran cepat dan lancar. Obat ini jarang
menimbulkan mual dan muntah serta masa pemulihannya cepat. Dosis
induksi 2-4,5% dikombinasi dengan O2 atau campuran N2-O2.
Dosis rumatan 0,5-3 % volume.
6. Isofluran (forane)
Isofluran merupakan eter berhalogen, berbau tajam, dan
tidak mudah terbakar. Keuntungan penggunaan isofluran adalah irama jantung
stabil dan tidak terangsang oleh adrenalin serta induksi dan masa pulih
anestesi cepat. Namun, harga obat ini mahal. Dosis induksi 3-3,5% dalam O2
atau kombinasi N2-O2. Dosis rumatan 0,5-3%.
7. Sevofluran
Obat anestetik ini merupakan turunan eter berhalogen yang
paling disukai untuk induksi inhalasi. Induksinya enak, dan cepat terutama pada
anak. Dosis induksi 6-8 vol%. Dosis rumatan 1-2 vol%.
OBAT YANG DIGUNAKAN
1.
Desfluran (suprane) Cairan:
240 mL untuk inhalasi
2. Diazepam
(generic,valium,dll) Oral;
tablet 2,5, 10 mg ; cairan 5 mg/ 5 mL,
Oral
lepas lambat;
kapsul 15 mg , Parenteral;
5 mg/ mL untuk suntikan.
3. Enfluran (ethrane), Cairan : 125,250 mL
untuk inhalasi
4.
Etomizad (amidate), Parenteral
;2 mg/ mL untuk suntikan
5.
Halutan (generic, fluothane), Cairan
125, 250 mL untuk inhalasi
6.
Isofluran (floren ), Cairan
100mL untuk inhalasi
7.
Ketamin (ketalan), Parenteral;
10,15,100 mg/mL untuk suntikan
8. Lorazepam (generek,
aktivam, alzavam), Ora,
tablet 0,5;1,2mg, Parenteral;2,4mg/
mL untuk sutikan
9.
Meto hek sital (brevital sodium),
Parenteral:
0,5; 2,5;5 g, serbuk untuk suntikan
10.
Mektoksifluran (penthrane), Cairan
; 15,125 mL untuk inhalasi
11.
Mizazolam (versed), Parenteral;1,5mg/
mL untuk suntikkan dala vial, 1,2, 5 , 10 mL
12.
Nitrogen oksida (gas, dalam tabung warna biru)
13.
Kropopol (dirifan) , Parenteral:
10 mg/Ml dalam 20 mL vial untuk suntika
14.
Tiamilar (surital), Parenteral
: cairan untuk injeksi dalam vial 1,5, 10 g
15. Thiopental
(penthoal), Parenteral:
250, 400, 500 mg diisi dalam suntikan ; 500mg dan 1 g cairan dengannya ; 1, 2,
5, 5g kits, Parental
: 400 mg cairan diisi dalam suntikan .
BAB
III
ANESTESI
LOKAL
A. Farmakologi dasar anestesis local
Kimiawi
Umumnya obat
anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah cincin aromatik) yang
diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau
sebuah amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal
memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan
hidrofilik. Penambahan sifat fisik molekul, maka konfirgurasi stereokimia
specifik menjadi penting, misalnya perbedaan potensi stereoisomer telah
diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti prokain) lebih
mudah terhidrolisis dari ikatan amida, maka lama kerja ester biasanya lebih
singkat.
1. Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan
secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan menghamba. Oleh karena
itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula kerja
efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum
terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal
bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek
anestesinya.
Absorbsiv
Absorbsi sistemik suntikan anestesi
lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dosis,
tempat suntikan, ikatan obat jaringan, adanya bahan vasokonstriktor, dan sifat
fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya
vaskularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat
cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandigkan tempat yang
perfusinya jelek, seperti tendo. Untuk anestesi regio yang menghambat saraf
yang besar, kadar darah maksimum anestesi lokal menurun sesuai dengantempat
pemberian yaitu: interkostal (tertinggi) > kaudal > epidural > pleksus
brankialis > saraf insciadikus (terendah).
Bahan vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan menguragi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3-nya saja.
Bahan vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan menguragi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3-nya saja.
Distribusiv
Anestesi lokal amida disebar meluas
dalam tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa
penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak.setelah fase distribusi
awal yang cepat, yang mungkin menandakan ambilan ke dalam organ yang perfusinya
tinggi seperti otak, ginjal, dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat yang
terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan
usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester maka
distribusinya tidak diketahui.
ekskresiv
Anestesi lokal diubah dalam hati dan
plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan
ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah
berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk
netralnya yang diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh
tubulus ginjal
. Tipe
ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh
butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas
sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk
prokain dan kloroprokain.
Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propranolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida.
Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propranolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida.
2. Farmakodinamik
Mekanisme kerjav
Membran
yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan
badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV.
Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan
cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40).
Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan
saluran kalium terbuka. Alran kalium keluar sel ,mendeplorisasi membran ke arah
keseimbangan potensial kalium (sekitar-95 mV); terjadi lagi repolarisasi
saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Sifat ini mirip dengan yang terjadi
pada jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek yang sama pada kedua
jaringan tersebut.
Fungsi
saluran natrium dapat diganggu dengan beberapa cara. Racun biologi seperti
batrakotoksin, aksonitin, veratidin, dan beberapa bisa skorpion meningkat
reseptor di dalam saluran dan mencegah inaktivasinya. Akibatnya influks natrium
ke dalam sel lebih lama melalui saluran dibandingkan dari hambatan konduksi,
sehingga beberapa peneliti menyatakan bahwa zat diatas sebagai agonis pada
saluran natrium. Racun larut tetrodoktosin dan saksitoksin menghambat saluran
ini dengan berikatan pada reseptor saluran dekat permukaan ekstrasel. Efek
kliniknya sepintas mirip dengan efek anestesi lokal walaupun bagian reseptornya
agak beda. Anestesi lokal meningkatkan reseptor ujung intrasel saluran adanya
bahan vasokonstriksiktor, dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal
pada daerah yang kaya askularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan
penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi
dibandingkan tempat yang diperfusinya jelek, seperti tendo.
Bila
peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal digunakan pada satu
serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat,
kecepatan munculnya potensial aksi mengecil,dan akhirnya kemapuan melepas satu
potensial aksila hilang. Efek yang bertambah tadi merupakan ikatan anestesi
lokal terhadap banyak dan makin banyak saluaran natrium. Jika arus ini dihambat
mebilih titik krirts saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang dihambat
ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk
menghambat ropagasi, potensial istirahat. Di antara depolarisasi akson, sebagian
saluran natrium pulih dari penghambat obat yang ini 10-100 kali lebih lambat
dari pada kepulihan saluran dari inaktivasi normal, seperti yang nampak pada
membran jantung. Akibatnya, masa refrakter diperpanjang dan saraf hanya dapat
menyalurkan sedikit impuls saja.
Walaupun
anestesi lokal dapat dibukitan menghambat sejumlah saluran lainnya, termasuk
saluran sinaptik perantara kimiawi, belum ada bukti yang menyakinkan bahwa
kerja demikian berperan penting pula dalam efek klinik dari obat anestesi
lokal. Namun, penelitian percobaan pada seabut saraf dan sel otot jantung
menunjukkan bahwa obat yang memperpanjang potensial aksi dapat meningkatkan
dengan jelas kepekaan saluran natrium terhadap penghambatan anestesi lokal
(Drachman, 1991). Hal ini dapat diterangakan dengan pengamatan uraian di atas,
yaitu afinitas saluran yang disktifkan dan diinaktifkan terhadap anestesi lokal
lebih besar dari pada afinitas saluran dalam keadaan isirahat.
Karakteristik struktur-aktivitas
anestesi lokal. Makin
kecil dan makin banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi
dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai hunbungan positif pula
dengan larutan lipid selama obat menahan kelarutan air yang cukup untuk
berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakin lebih larut dalam
air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang terakhir lebih
kuat dengan masa kerja yang panjang.obat terikat lebih ekstensif pada protein
dan akan menggeser atau digeser dari tempat ikatannya oleh obat-obat lain.
Aksi terhadap sarafv
Karena
anestesi lokal mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas
pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Walaupun kelumpuhan
motor pada suatu saat diperlukan juga, namun keadaan demikian membatasi
kemapuan pasien untuk kerja sama, misalnya selama persalinan. Selama anestesi
sinal, kelumpuhan motor justru merusak aktivitas pernapasan dan penghambatan
saraf otonom dapat menimbulkan hipotensi, namun demikian,perbedaan tipe serabut
saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya terhadap penghambatan anestesi
lokal atas dasar pengukuran dan mielinasi.
Efek diameter serabut
Anestesi
lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak dimana
propragasi suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi
(berhubungan dengan kostan ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja
anestesi lokal, bila bagian pendek serambut dihambat, maka serabut berdiameter
kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls. Terhadap serabut bermielin,
setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi lokal untuk
menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh
nodus tadi-yang menerangkan, sebagian tahanan yang lebh besar tadi. Saraf
bermielin cenderung dihambat sebelum saraf yang tidak bermielin pada ukuran
yang sama. Dengan alasan ini, serabut preganglionik B dapat dihambat sebelum
serabut C kecil yang tidak bermielin.
Efek frekuensi letupan
Alasan
penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung
dari mekanisme kerja yang bergantungpada keadaan anestesi lokal. Hambatan oleh
obat anestesi lokal dan makin lamanya depolarisasi. Serabut sensoris, terutama
serabut nyeri, ternyata berkecepatan letupan tinggi dan lama potensi aksi yang
relatif lama (medekaiti 5 milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang
lebih lambat dengan potensial aksi yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta
dan C adalah serabut berdiameter kecil yang terlibat pada transmisi nyeri
berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih dahulu dengan
anestesi lokal kadar rendah dari pada serabut A alfa.
Efek posisi saraf dalam bundel saraf
Susunan anatomi
serabut menciptakan pula aturan tertentu seperti di atas dengan perkeculian
terhambatan berbagai serabut yang terletak di bagian tepi bundel. Pada
sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundel.
Dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih dahulu bila anestesi lokal
diberikan secara suntikan kedalam jaringan sekitar saraf. Akibatnya, bukan
tidak mungkin saraf motor akan terhambat sebelum [enghambatan motor dalam
bundel besar. Pada ektrimitas, serabut sensoris proksimal terletak menyelimuti
badan saraf, di mana persarafan sensoria distal terletak di tengah. Jadi,
selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi menyebar ke distal sesuai
dengan penetrasi obat ke dalam bagian tengah bundel saraf.
Efek terhadap membran yang mudah terangsang lainnya
Anestesi
lokal mepunyai efek menghambat tot saraf yang lemah dan tidak begitu penting
dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot jantung mempunyai makna
klinik yang penting. Beberapa berguna sebagai obat antiaritmia pada kadar
rendah dibandingkan kadarnya untuk menghambat saraf, dan semua anestesi lokal
dapat menimbulkan aritmia pada kadar yang cukup penting.
B. Farmakologi klinik anestesi lokal
Anestesi
lokal menyebabkan analgesia sementara tetapi lenkap dari bagian tubuh yang
berbatas tegas. Cara pemberian biasanya dengan aplikasi topikal, suntikan pada
daerah akhiran saraf perifer dan bundel batang saraf dan instilasi ke dalam
jaringan epidural dan ruang subarakhnoid yang mengelilingi medula spinalis.
Selain itu, hambatan serabut simpatis otonom dapat digunakan untuk mengevaluasi
peran tonus simpatis pada pasien dengan vasopasme perifer. Pilihan anestesi lokal
untuk prosedur tertentu biasanya atas lama kerja obat yang dibutuhkan. Prokain
dan kloroprokain bekerja singkat: lidokain, mepivakain, dan prilokain masa
kerjanya mengah sedangkan tetrakain, bupivakain, dan etiokain bekerja lama.
Mulai kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan menggunakan larutan jenuh dengan CO2 (karbonasi) kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebarkan asidosis intraselular (CO2 mudah melintas membran), yang kemudian menimbulkan tumpulkan bentuk kation anestesi lokal.
Mulai kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan menggunakan larutan jenuh dengan CO2 (karbonasi) kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebarkan asidosis intraselular (CO2 mudah melintas membran), yang kemudian menimbulkan tumpulkan bentuk kation anestesi lokal.
1. Toksisitas
Seharusnya
obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam
darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem
organ. Sistem
saraf pusat Sejak
zaman prasejarah, penduduk asli peru telah mengunyah daun tumbuhan erythoxylon
coca, sumber kokain, untuk, untuk memperolehperasaan nyaman dan menguragi
keletihan. Efek SSP yang kuat dapat diperoleh dengan menyedot bubuk kokain.
Kokain kini telah menjadi satu penyalahgunaan obat yang paling banyak
digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euforia kokain. Namun,
beberapa penelitian menunjukkan b ahwa beberapa pemakai ketagihan kokain tidak
dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lidokain intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan timbul pula nistagmus dan mengigil. Akhirnya kejang toni klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya depresi jalur penghambatan kortikal, sehingga aktivitas komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SPP umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.
Efek SSP lainnya termasuk ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan timbul pula nistagmus dan mengigil. Akhirnya kejang toni klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya depresi jalur penghambatan kortikal, sehingga aktivitas komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SPP umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.
Reaksi
toksik yang paling serius dari obat anestesi lokal yang timbulnya kejang karena
kadar obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah dengan hanya
memberikan anestesi lokal dalam dosis kecil sesuai dengan kebutuhan untuk
anestesi yang adekuat saja. Bila harus diberikan dalam dosis besar, maka perlu
ditambahkan premedikasi dengan benzodiazepin; seperti diazepam, 0,1-0,2 mg/kg
parenteral untuk mencegah bangitan kejang. Bila kejang sudah terjadi, maka
perlu untuk mencegah hipoksemia dan asidosis. Walaupun pemberian oksigen tida
dapat mencegah hiperroksemia setelah munculnya kejang. Sebaliknya, hiperkapnia
dan asidosis turut memperberat kejang. Hiperventilasi dapat meningkatkan pH
darah, yang kemudian akan menurunkan kadar kalium ekstrasel. Hal ini akan
menghiperpolarisasi potensial transmembran akson, yang cocok untuk keadaan istirahat
atau afinitas rendah saluran natrium, sehingga toksisitas anestesi lokal
berkurang.
Kejang
akibat anestesi lokal dapat diobati pula dengan barbiturat kerja singkat dosis
kecil, seperti tiopental, 1-2 mg/kg secara intravena, atau azepam, 0,1 mg/kg
intravena. Manifestasi otot dapat ditekan dengan obat penyakat otot saraf kerja
singkat, seperti suksinilkolin tidak memperbaiki menifestasi kortikal pada EEG
pada kasus pemberian suksinilkolin dan ventilasi mekanik dapat mencegah
aspirasi paru dari cairan lambung dan mempermudah terapi hiperventilasi.
Sistem saraf perifer
(neurotoksisitas), bila
diberikan dalam dosis yang sangat berlebihan, semua anestesi lokal akanmenjadi
toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan kasus defesit
sensoris dan motor yang belanjut setelah kecelakan anestesi spinal dengan
klopoprokain volume besar. Apakah klopoprokain memang lebih neurotoksik
dibandingkan denga anestesinya belum bisa dipastikan.
Sistem kardiovaskuler
Efek
kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap
jantung dan menbran otot polos serta dari efek secara tidak langsung melaluai
saraf otonom. Seperi uraian dalam anestesi lokal menhambat saluran natrium
jantung sehingga menekan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi
jantung menjadi normal. Dengan perkecualian kokain, obat anestesi lokal menekan
pula kekuatan kontaksi jantung sehingga terjadi dilatasi arteriol, di mana
kedual efek ini akan menimbulkan hipotensi. Walaupun kolaps kardiovakular dan
kematian biasanya timbul setelah pemberian dosis yang sangat tinggi,
kadang-kadang dapat pula terjadi dalam dosis kecil yang diberikan secara
anestesi inflitrasi.
Seperti
catatan di atas, kokain berbeda dengan anestesi lain dalam hal efek
kardiovaskularnya. Hambatan ambilan kembali norepineprin dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebkan aritmia jantung.
Efek vasokostriksi kokain akan menimbulkan iskemia pada mukosa hidung, dan pada
pemakai jangka panjang, bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan
eptum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara klinik untuk
mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.
Bupivakain
lebih kardiotoksik daripada anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus menunjukkan
bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena intravena tidak saja menyebabkan
kejang tetapi juga kolaps kardiovaskular, di mana tindakan resusitasi sangat
sulit dilakukan dan tidak akan berhasil. Beberapa penilitian pada binatang
sepakat tentang ide bahwa bupivakain memang lebih toksik bila diberikan secara
intervena dibandingkan anestesi lokal lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa
saluran natrium bupivakain sangat diperkuat oleh masa kerja yang kuat dan
sangat lama pada seln jantung (dibandingka serabut saraf lain), dan tidak
seperti lidokain, bupivakain menumpuk jelas pada denyut jantung normal.
Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa gambaran EKG yang sangat umum pada
pasien yang diberi bupivakain ternyata irama idioventrikular melambat dengan kompekls
QRS yang melebar dan disosiasi elektromekanik. Resusitasi pernah berhasil
dengan bantuan kardiopulmoner standar- termasuk koreksi asidosis yang jitu
dengan hiperventilasi dan pemberian bikarnoat-dan pemberian epineprin, atropin,
dan bretilium yang agresif. Ropivakain adalah anestesi lokal amida yang baru
dan masih diteliti dengan efek anestesi lokalnya sama dengan bupivakain. Bukti
awal menunjukkan bahwa toksisitas kardiovaskularnya lebih kecil daripada
bupivakain.
Darah
Pemberian
prilokain dosis besar (>`10mg/kg) selama anestesi regional akan menimbulkan
penumpukan metabolit toluidin, suatu zat pengoksidasi yang. Bila kadar
methemoglobin ini cukup besar (3-5 mg/dL), maka pasien akan nampak sianotik dan
warna menjadi coklat. Kadar methemoglobin demikian menimbulkan dekompensasi
pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera.
Tindakan untuk menguragi kadar methemoglobin dengan metilin biru, asam askobat,
kurang memuaskan, dapat diberikan secara intravena agar methemoglobin segera dikonversi
menjadi hemoglobin.
Reaksi
alergi
Anestesi
lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p aminobenzoat. Metabolit
ini dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil populasi. Amida tidak
dimetabolisir menjadi asam p- aminobenzoat, sehingga reaksi alergi tipe amida
ini sangat jarang sekali terjadi.
OBAT
YANG TERSEDIA
1. Benzokain
(generik,lain-lain) Topikal: krim 5,6%; 6,20%; salep 5%; lotion 0,5%; semprot20%
2.
Bupivakain (generik, marcaine, sensorcaine) Parentetal: 0,25, 0,5, 0,75% untuk
disuntik; 0,25, 0,5, 0,75% dengan 1:200000
3. Butamben pikrat (butesin
picrate) Topikal: salep 1%
4. Kloroprokain (nesacaine) Parentetal: 1,2,3,% untuk suntikan
5.
Kokain (generik) Topikal: larutan 40, 100 mg/ml: bubuk 5,25g; tablet mudah
larut 135 mg
6. Dibukain (generik, nupercainal)
Topikal : krim 0,5%; salep 1%
7. Diklonin (dyclone) Topikal:
larutan 0,5, 1%
8.
Etidokain (duranest) Parental :1% untuk suntikan; 1, 1,5% dengan epinefrin
1:200000 untuk suntikan
9.
Lidokain (generik,xylocaine, lainya) Parental: 0,5, 1, 1,5, 2, 4, 10, 20% untuk
suntikan; 0,5, 1, 1,5, 2% dengan apinefrin 1:200000; 1,2% dengan epinefrin
1:100000;2% dengan epinefrin 1:50000 Topikal: salep 2,5, 5%; krim 5%; jelly dan
larutan 2%; larutan 2, 4, 10%.
10.
Mepivakain (generik,carbocaine, lainya) Parental: 1, 1,5, 2, 3% untuk suntikan
;25 dengan levonordefrin 1:20000
11. Pramoksin (tronothane,prax)
Topikal: krim 0,5, 1%;lotion dan gel 1%
12. Prilokain (citanest) Parental;
4% untuk suntikan,4% dengan epinefrin 1:200000
13. Prokain (generik,novocain)
Parental; 1,2,10% untuk suntikan
14. Propoksikain dan prokain
(revocaine dan novocain) Parental: 7,2 mg propoksikain
dengan 36 mg prokain dan norepifrin
atau kobefrin per 1,8 mL unit suntikan gigi
15. Tetrakain (pontocaine)
Parental;1% untuk suntikan; 0,2, 03% dengan 6% dekstrosa
untuk anestesi spinal
16. Topikal; salep 0,5%;larutan
(oftalmik)0,5%; krim 1%; larutan untuk kumur2%.
BAB
IV
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anestesi umum
Stadium
anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya
sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek
ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis
obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal
akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan.
Jenis obat anestesi umum.
Jenis obat anestesi umum.
Umumnya obat anestesi umum
diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
• Anestetik inhalasi
• Anestetik intravena
Tanda dan stadium anestesi
Gambaran
tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari
penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat
karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin
tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena
yang bekerja cepat.
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :
• Stadium analgesi
• Stadium terangsang
• Stadium operasi
• Stadium depresi
medula oblongata
2.
Anestesi local
Anestesi
lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan
membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama
pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat
sensasi sakit dari-atau impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh
tertentu. Kokain, obat anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun
1860.
Kimiawi
Umumnya
obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah
cincin aromatik) yang diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya
termasuk suatu ester atau sebuah amida) yang terikat pada satu gugus
terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik
dan kekuatan hidrofilik.
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Anestesi
lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang
akan menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu
penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan
halnya mula kerja anestesis umum terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Membran
yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan
badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV.
Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan
cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40).
Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan
saluran kalium terbuka.
No comments:
Post a Comment