EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk hukum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interfretasi terhadap hukum pun bisa berubah. Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini, kami berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai euthanasia menurut hukum menurut 5 agama.
1. Rumusan Masalah
1. Apa itu euthanasia?
2. Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Apa contoh kasus nyata euthanasia ?
1. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa itu euthanasia?
2. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Untuk mengetahui contoh kasus nyata euthanasia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa sipengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari komputer.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk hukum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interfretasi terhadap hukum pun bisa berubah. Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini, kami berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai euthanasia menurut hukum menurut 5 agama.
1. Rumusan Masalah
1. Apa itu euthanasia?
2. Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Apa contoh kasus nyata euthanasia ?
1. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa itu euthanasia?
2. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Untuk mengetahui contoh kasus nyata euthanasia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa sipengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari komputer.
1. Pengertian Euthanasia
- Euthanasia berasal dari bahasa
Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with
dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah,
euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
- euthanasia merupakan tindakan
penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu atau
dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini muncul akibat
terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara
eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin
dan legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup
dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
- Kode Etik Kedokteran Indonesia
menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
- Menurut Philo (50-20 SM)
Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis
Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa Euthanasia
“mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi
kematian dengan pertolongan dokter.
1. Macam euthanasia
Ada dua macam euthanasia:
1. Aktif
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
2. Pasif
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
1. Auto euthanasia,
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.
- Voluntary euthanasia: Permohonan
diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik
& jiwa yang tidak menunjang.
- Involuntary euthanasia: Keinginan
yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya
seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk
mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
1. Sejarah Euthanasia
1. a. Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
1. b. Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
1. c. Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
1. d. Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
• Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
• Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
1. Terminologi Euthanasia
1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
• Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
• Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
• Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang kuat.
Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu.
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
1. 1. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
1. a. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
1. b. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
1. 2. Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2. Ada kesengajaan membunuh
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5. Jarimah dilakukan secara langsung.
1. a. Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
1. b. Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
1. c. Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
1. d. Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
• Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
• Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
1. Terminologi Euthanasia
1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
• Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
• Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
• Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang kuat.
Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu.
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
1. 1. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
1. a. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
1. b. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
1. 2. Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2. Ada kesengajaan membunuh
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5. Jarimah dilakukan secara langsung.
1. D. Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik
Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah.
Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien, tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa.
Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke
seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
1. E. Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
1. F. Contoh Kasus Nyata euthanasia
Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif
Muhammad Atqa – detikNews
Jakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih,” demikian dr Marius.
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
1. A. Simpulan
- Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
- Euthanasia menurut Agama Islam
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
- Euthanasia menurut Agama Hindu
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal
- Euthanasia menurut Agama Buddha
Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna.
- Euthanasia menurut Agama Kristen Katolik
Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
- Euthanasia menurut Agama Kristen Protestan
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Http://id.wikipedia.org/wiki/euthanasia
http://www.forumbebas.com/thread-135792.html
EUTHANASIA DI TINJAU DARI 5 AGAMA
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA
Di tulis oleh :
NITA YUNISHA
ROSITA
RURY ARIANI P.K
SRIMEISINTA
WULAN JEWI SUNDARI
PENDIDIKAN BIDAN
AKADEMI KEBIDANAN YASPEN TUGU IBU
2010
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, ucapan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME. Tuhan sarwa sekalian alam, pemilik segenap kekuatan. Dialah Maha Pengasih, tuhan yang tak pilih kasih, Maha Penyayang yang tak pandang sayang. Dengan segenap kekuatan yang Dia limpahkan, penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “ EUTHANASIA” dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyelesaian Makalah ini penulis mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki penulis. Namun, berkat bantuan dari semua pihak, akhirnya karya tulis mahasiswa ini dapat terselesaikan walau masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Orang tua yang selalu memberi dorongan, semangat, dan do’a;
2. Dosen pengajar mata kuliah Agama
3. Teman-teman di Akademi kebidanan Yaspen Tugu Ibu
Harapan penulis kedepan, semoga kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan, dan semoga makalah ini dapat terkesan di hati semua orang sehingga dapat menjadi panutan ilmu pengetahuan.
Cibubur,17 September 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk hukum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interfretasi terhadap hukum pun bisa berubah. Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini, kami berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai euthanasia menurut hukum menurut 5 agama.
1. Rumusan Masalah
1. Apa itu euthanasia?
2. Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Apa contoh kasus nyata euthanasia ?
1. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa itu euthanasia?
2. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Islam?
3. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Hindhu?
4. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Budha?
5. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kristen Katolik?
6. Untuk mengetahui Bagaimana euthanasia menurut agama Kisten Protestan?
7. Untuk mengetahui contoh kasus nyata euthanasia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mesin eutanasia yang digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi. Layar komputer jinjing memandu pengguna melalui beberapa tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa sipengguna telah benar-benar siap untuk dalam keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari komputer.
1. Pengertian Euthanasia
- Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
- euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
- Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
- Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
1. Macam euthanasia
Ada dua macam euthanasia:
1. Aktif
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
1. Pasif
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.
1. Auto euthanasia,
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.
- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
1. Sejarah Euthanasia
1. a. Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
1. b. Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
1. c. Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
1. d. Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
• Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
• Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
1. Terminologi Euthanasia
1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
• Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
• Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
• Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang kuat.
Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu.
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
1. 1. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
1. a. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
1. b. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.
1. 2. Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah.
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2. Ada kesengajaan membunuh
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5. Jarimah dilakukan secara langsung.
1. B. Euthanasia Menurut Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal
1. C. Euthanasia Menurut Agama Budha
Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk.
Ia yang memiliki kasih sayang tentu akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.
Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.
Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.
1. D. Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik
Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah.
Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien, tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa.
Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke
seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
1. E. Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
1. F. Contoh Kasus Nyata euthanasia
Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif
Muhammad Atqa – detikNews
Jakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih,” demikian dr Marius.
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
1. A. Simpulan
- Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
- Euthanasia menurut Agama Islam
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
- Euthanasia menurut Agama Hindu
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal
- Euthanasia menurut Agama Buddha
Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna.
- Euthanasia menurut Agama Kristen Katolik
Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
- Euthanasia menurut Agama Kristen Protestan
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Http://id.wikipedia.org/wiki/euthanasia
http://www.forumbebas.com/thread-135792.html
PENGERTIAN TRANFUSI
- Pindah tuang
- Memindahkan sejumlah cairan (dalam jumlah yang cukup besar) ke dalam pembuluh darah balik
- Tranfusi darah : memindahkan cairan (darah) dari seorang donor kepada seorang akseptor (resipien)
DONOR DAN RESIPIEN
- DONOR : orang yang menyumbangkan organ tubuh (darah) kepada resipien
- RESIPIEN : orang yang menerima organ tubuh (darah) dari seorang donor
MACAM MACAM DONOR
- Donor anggota badan yang bisa pulih kembali (darah, kulit, sumsum tulang)
- Donor anggota badan yang dapat menyebabkan kematian
- Donor angota badan yang hanya satu satunya (meskipun tdk mengakibatkan kematian (lidah, pankreas)
- Donor anggota badan yang ada pasangannya (mata, ginjal)
- Donor alat reproduksi manusia (sperma, ovum, ovarium, testis)
- Donor anggota badan dari mayat yang berwasiat
HAKEKAT DARAH
- Darah adalah bagian dari badan (anggota badan)
- Memindahkan darah berarti memindahkan anggota badan
Hukum memakan darah
“Sesungguhnya Alloh hanya
mengharamkan bagimu mangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih
dengan menyebut selain Alloh. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas
maka tidak ada dosa baginya…….” (Al baqoroh : 173)
“ Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Alloh…….”(Al Maidah : 3)
DARAH ADALAH MAKANAN HARAM
PANDANGAN ULAMA TERDAHULU
- MEMANFAATKAN ANGGOTA BADAN ADALAH HARAM BAIK DENGAN CARA JUAL BELI ATAUPUN DENGAN CARA LAINNYA
- Memanfaatkan anggota badan manusiatidak diperbolehkan. Ada yang beralasan karena (1)najis, (2)merendahkan. Alasan kedua adalah alasan yang benar (Al-Fatwa Al-Hidayah)
- “Tidak diperkenankan menjual rambut manusia ataupun memanfaatkannya. Karena manusia itu terhormat bukan hina” (Al Murghinani)
- Adapun tulang dan rambut manusia tidak boleh dijual, bukan karena najis atau suci, tetapi karena menghormatinya. Menjualnya berati merendahkannya” (Al Kasani)
- Menjual air susu wanita (BOLEH). Karena susu itu suci dan bermanfaat sehingga Alloh memperbolehkkan untuk meminumnya walaupun tidak dalam keadaan terpaksa (Madzhab, Maliki, Hambali dan Syafi’I)
- Menjual air susu (HARAM). Karena susu adalah bagian dari anggota badan (Mazhab Hanafi)
- Ulama terdahulu sangat berhati hati dalam hal perlakuan terhadap anggota badan manusia (manusia merupakan mahluk terhormat dalam pandangan Islam)
- Pada saat itu belum terpikirkan perkembangan Ilmu kedokteran yang sepesat sekarang
KAIDAH USUL FIQIH
- Keharusan mengambil risiko terkecil untuk menolak bahaya yang besar, dan mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar
- Darurat akan memperbolehkan yang haram
DONOR DAN TRANFUSI DARAH
- Tidak menyebabkan kerusakan (kematian pada diri donor)
- Memberikan manfaat (mencegah kerusakan/kematian) pada akseptor
- Donor / Tranfusi tidak boleh dilakukan bila menyebabkan kematian pada diri donor (darah diambil terlalu banyak), meskipun memberikan manfaat kepada resipien.
- DONOR DARAH DAPAT MENCEGAH BAHAYA YANG SUDAH PASTI (MENCEGAH KERUSAKAN/KEMATIAN RESIPIEN)
- BAHAYA YANG TIMBUL AKIBAT DONOR/TRANFUSI DAPAT DIPERKIRAKAN
- PERBEDAAN KERUGIAN YANG TERJADI DAN MANFAAT YANG DIPEROLEH JELAS (MANFAAT LEBIH BESAR DARI KERUGIAN)
- Donor darah memberikan manfaat yang sangat besar dan termasuk mendonorkan anggota badan yang dapat pulih kembali
- Pendonor tidak akan mendapat kerugian/kerusakan yang berarti, bahkan mendapat manfaat.
- Tranfusi darah tidak sama dengan “memakan darah”
- Kerusakan / kerugian akibat tranfusi dapat diperkirakan dan dicegah dengan adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Donor darah
- Kebutuhan tranfusi darah adalah terus menerus dan meluas (akibat bencana alam, perang, kecelakaan, operasi dan berbagai penyalit) sehingga kebutuhan darah semakin meningkat.
- Donor darah bisa menjadi obat / sarana penyembuhan berbagai penyakit
- Mendonorkan darah hukumnya FARDLU KIFAYAH.
KESIMPULAN
- Tranfusi darah diperbolehkan karena dengan perhitungan ilmiah yang tepat dapat menolong /memberikan manfaat yang besar bagi resipien dan tidak memberkan kerugian / kerusakan pada diri donor baik dalam jangka pendek maupun panjang
- Hasil perbandingan antara kemaslakhatan dan kemudlorotan jelas, yaitu kemaslahatan lebih besar dari kemudlorotan, sehingga tidak bertentangan dengan kaidah usul fiqh
- Hendaknya tujuan dari donor-tranfusi darah adalah untuk menyelamatkan hidup resipien, bukan keuntungan materi dari pendonor (jual beli darah)
- Mendonorkan darah hukumnya fardlu kifayah mengingat semakin besarnya kebutuhan darah untuk menyelamtkan hidup manusia akibat bencana alam, kecelakaan, operasi, perang dan berbagai penyakit yang lain
- Jangan sampai donor darah menyebabkan pelecehan terhadap kehormatan manusia, karena jual beli anggota badan seperti donor anggota badan lain (ginjal, mata dll)
Sumber : Kuliah agama dan kesehatan
oleh dosen saya
TRANSPLANTASI
ORGAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam dunia medis, masih sering ditemukan
orang yang melakukan transplantasi organ. Disamping kebutuhan jasmani, ada juga
yang melakukan hal tersebut dengan alasan kebutuhan ekonomi, yaitu dengan
menjual organ yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan.
Ada beberapa alasan yang menolak akan
transplantasi organ baik dari orang yang masih sehat sampai orang yang sudah
meninggal. Hal ini dapat diperkuat dengan hadits Nabi SAW, “Mematahkan tulang
mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang
orang itu ketika ia masih hidup”.
Dan ada juga yang mendukung
pelaksanaan transplantasi organ, karena hal ini sama halnya dengan menolong
sesama umat manusia terutama umat muslim, sesuai firman Allah swt “Dan saling
tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling
tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Qs.Al-Ma’idah 2).
Dengan demikian, transplantasi organ
masih banyak dipermasalahkan oleh kalangan medis maupun para ahli agama. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan hukum-hukum beserta alasan-alasan
yang mendukung maupun yang menolak transplantasi organ ini.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Transplantasi.
Dolong, dkk. (dalam buku Islam untuk
Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan 1. 2002) mengemukakan tentang
transplantasi alat pertama yang tercatat dalam sejarah ialah transplantasi
kulit, yang ditemukan dalam manuskrip Mesir Kuno, Ik. 2000 SM. Berabad-abad
kemudian yaitu pada tahun 1863 seorang ahli faal Perancis, Paul Bert baru bisa
menjelaskan bahwa transplantasi alat dari seseorang kepada orang lain yang
disebut sebagai allograft selalu mendapat penolakan secara normal dari tubuh si
penerima. Sedangkan pemindahan alat dari tubuh manusia yang sama disebut
sebagai autograft dan penolakan tersebut tidak terjadi.
B. Transplantasi Organ.
Pengertian Tansplantasi.
Zamzami Saleh (dalam artikel
Syari’ah Project, 2009) menjelaskan bahwa “Transplantasi adalah pemindahan
organ tubuh dari orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya
hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak
berfungsi lagi, sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan secara
sehat.”
Tujuan Transplantasi.
Zamzami Saleh (dalam artikel
Syari’ah Project, 2009) juga menjelaskan bahwa tujuan dari transplantasi adalah
“sebagai pengobatan dari penyakit karena islam sendiri memerintahkan manusia
agar setiap penyakit diobati, karena membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh
dapat mengakibatkan kematian, sedangkan membiarkan diri terjerumus dalam
kematian (tanpa ikhtiyar) adalah perbuatan terlarang”. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 “Dan jangan lah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”.
Maksudnya apabila sakit maka manusia
harus berusaha secara optimal untuk mengobatinya sesuai kemampuan, karena
setiap penyakit sudah ditentukan obatnya, maka dalam hal ini transplantasi
merupakan salah satu bentuk pengobatan.
Syarat-syarat Pelaksanaan
Transplantasi.
Menyumbangkan organ tubuh
diperbolehkan dalam islam selama hal itu dilakukan berdasarkan batasan-batasan
yang telah ditentukan oleh syariat. Dengan demikian, Sheikh Ahmad Kutty (dalam
artikel Islam.ca) menuturkan beberapa syarat-syarat yang membolehkan
transplantasi organ, yaitu:
a) Syarat bagi
orang yang hendak menyumbangkan organ dan masih hidup:
- Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki kepemilikan penuh atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat keputusan sendiri.
- Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa atau usianya mencapai dua puluh tahun.
- Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun.
- Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan dan kelangsungan hidup tergantung dari itu.
- Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
b) Syarat bagi mereka
yang menyumbangkan organ tubuh jika sudah meninggal:
- Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
- Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
- Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
- Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
- Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.
Akibat dari Transplantasi.
C.S. Williamson (Dolong, dkk. dalam
buku Islam untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan 1) ahli bedah pada Nayo
Unic yang terkenal mengemukakan bukti maha penting bahwa adanya penolakan alat
pada resipien. Kemudian Sir Peter Brian Medawarpada tahun 1944 membuktikan
bahwa transplantasi yang dilakukan berulang-ulang dari donor yang sama
mengakibatkan penolakan yang makin meninggi dari resipien. Penolakan hamper
tidak ditemukanpada allograft dari orang yang kembar, sedangkan pada orang yang
berbeda akan punya antigen (protein khusus yang ditemukan dalam sel darah
putih) yang berbeda.
Oleh karena itu, maka orang yang
menerima suatu alat akan menganggapnya sebagai benda asing dan memberikan
reaksi imuunologik (reaksi penolakan) yang sekiranyatidak diberikan obat-obatan
penekan reaksi tersebut bisa merusak alat yang dipindahkan tersebut.
C. Hukum Transplantasi.
Hukum tentang transplantasi sangat
bermacam-macam, ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya. Oleh karena
itu, dalam pembahasan ini akan menggabungkan hukum-hukum dari beberapa sumber
yaitu dari Abuddin (Ed) (2006) dan Zamzami Saleh (2009), sebagai berikut:
Transplantasi organ ketika masih
hidup.
Pendapat 1: Hukumnya tidak Boleh
(Haram).Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan
sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.
Dalil1: Firman Allah SWT “Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu“ (
Q.S.An-Nisa’:4:29) dan Firman Allah SWT “Dan Janganlah kamu jatuhkan dirimu
dalam kebinasaan dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik” (Q.S.Al-Baqarah :2:195).
Maksudnya adalah bahwa Allah
SWT melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang
membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang mendonorkan
salah satu organ tubuhnya secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang
membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Padahal manusia tidak disuruh berbuat
demikian, manusia hanya disuruh untuk menjaganya (organ tubuhnya) sesuai ayat
di atas.
Manusia tidak memiliki hak atas
organ tubuhnya seluruhnya,karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah swt.
Pendapat 2: Hukumnya ja’iz (boleh) namun
memiliki syarat-syarat tertentu.
Dalil 2: Seseorang yang mendonorkan
organ tubuhnya kepada orang lain untuk menyelamatkan hidupnya merupakan
perbuatan saling tolong-menolong atas kebaikan sesuai firman Allah swt “ Dan
saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling
tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Qs.Al-ma’idah 2).
Setiap insan, meskipun bukan pemilik
tubuhnya secara pribadi namun memiliki kehendak atas apa saja yang bersangkutan
dengan tubuhnya, ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan kepada manusia hak
untuk mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa kepada kehancuran,
kebinasaan dan kematian dirinya (QS. An-Nisa’ 29 dan al-Baqarah 95). Oleh
karena itu, sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika darurat merupakan
pekerjaan yang mubah (boleh) dengan dalil
Transplantasi organ ketika dalam
keadaan koma.
Pendapat: Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam
keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma, hukumnyaharam.
Dalil: Sesungguhnya perbuatan mengambil salah satu organ tubuh
manusia dapat membawa kepada kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa
kepada kemudlaratan merupakan perbuatan yang terlarang sesuai Hadist nabi
Muhammad saw “Tidak boleh melakukan pekerjaan yang membawa kemudlaratan dan
tidak boleh ada kemudlaratan”
Manusia wajib berusaha untuk
menyembuhkan penyakitnya dem mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu
berada ditangan Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mencabut
nyawanya sendiri atau mempercepat kematianorang lain, meskipun mengurangi atau
menghilangkan penderitaan pasien.
Transplantasi organ ketika dalam
keadaan telah meninggal.
Pendapat 1: Hukumnya
Haram karena kesucian tubuh manusia setiap bentuk agresi atas tubuh manusia
merupakan hal yang terlarang.
Dalil: Ada beberapa perintah Al-Qur’an dan
Hadist yang melarang. Diantara hadist yang terkenal, yaitu:
“Mematahkan tulang mayat seseorang
sama berdosanya dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang tersebut ketika
ia masih hidup”
Tubuh manusia adalah amanah, pada
dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus
dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya kepada orang
lain.
Pendapat 2: Hukumnya Boleh.
Pendapat 2: Hukumnya Boleh.
Dalil: Dalam kaidah fiqiyah
menjelaskan bahwa “Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah
(kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar
dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
Selama dalam pekerjaan transplantasi
itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.
D. Alasan Dasar
Pandangan-Pandangan Transplantasi Organ.
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus
lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu
tapi beragam dan satu dengan lainnya, bahkan ada yang saling bertolak belakang,
meski menggunakan sumber-sumber yang sama. Dalam pembahasan ini akan
disampaikan beberapa pandangan yang cukup terkenal, dan alasan-alasan yang
mendukung dan menentang transplantasi organ, menurut aziz dalam beranda, yaitu:
Pandangan yang menentang
pencangkokan organ.
Ada tiga alasan yang mendasar,
yaitu:
a)
Kesucian hidup/tubuh manusia.
Setiap bentuk agresi terhadap tubuh
manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam
Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal
yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh
manusia, meskipun sudah menjadi mayat, “Mematahkan tulang mayat seseorang
adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika
ia masih hidup”
b)
Tubuh manusia adalah amanah.
Hidup dan tubuh manusia pada
dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat
untuk dijaga, karena itu manusia tidak boleh untuk merusak pinjaman yang
diberikan oleh Allah SWT.
c)
Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Pencangkokan dilakukan dengan
mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain, disini
tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa
dipindah-pindah tanpa mengurangi ketubuh seseorang.
Pandangan yang mendukung
pencangkokan organ.
Ada beberapa dasar, antara lain:
a)
Kesejahteraan publik (maslahah).
Pada dasarnya manipulasi organ
memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang
bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup
manusia yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini
pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan, yaitu (1) Pencangkokan
organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa,
(2) derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ
asli (atau ahli warisnya), (3) penerima organ sudah tahu persis segala
implikasi pencangkokan ( informed consent )
b)
Altruisme.
Ada kewajiban yang amat kuat bagi
muslim untuk membantu manusia lain khususnya sesama muslim, pendonoran organ
secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan
anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya
dianjurkan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transplantasi merupakan hal yang
sangat rumit dalam pengambilan tindakan yang tepat, karena banyak pendapat yang
menentang dan mendukung tentang pelaksanaan transplantasi dengan berbagai
alasan yang berbeda-beda. dari uraian pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa hukum pelaksanaan transplantasi organ itu bergantung pada alasana mengapa
harus melakukan hal tersebut. jika alasannya tidak mendukung maka kegiatan
transplantasi tesebut sangat dilarang dan hukumnya haram serta ilegal.
B. Saran
Jika kita harus melakukan
transplantasi organ, maka seharusnya memenuhi persyaratan-persyaratan yang
tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan, baik dari pendonor maupun resipien,
serta harus memenuhi kaidah atau syarat-syarat islam
izin copy ya untk tugas hukum kesehatan sya :)
ReplyDeletethanks
makasih kakkk , aku ada tugas ini , sangat membantuuu , makasih kak :)
ReplyDelete